Pada Tahun Keenam Hijriyah
Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- berkata, “Jika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hendak bepergian, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya. Nama siapa yang keluar dalam undian, dialah yang berhak menemani beliau. Pada perang Bani Mushthaliq, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengundi istri-istrinya seperti biasanya.
Dalam undian tersebut, namaku keluar. Jadi, aku yang beliau bawa dalam perjalanannya. Wanita-wanita ketika itu makanannya tidak banyak, maka wajar kalau badan mereka tidak berat. Jika untaku telah disiapkan, aku duduk di sekedup (pelana), kemudian orang-orang datang untuk mengambilku. Mereka memegang bagian bawah sekedup, mengangkatnya, meletakkannya di atas punggung unta, mengikatkannya ke unta, memegang kepala unta, dan berjalan dengannya. Setelah merampungkan permasalahan Bani Al-Mushthaliq, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pulang ke Madinah. Tiba di dekat Madinah, beliau berhenti di satu tempat, dan tidur sebagian malam.”
Setelah itu, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan kaum Muslimin meneruskan perjalanan. Mereka pun berangkat, sedang aku keluar untuk memenuhi hajat dengan mengenakan kalung yang di dalamnya terdapat batu akik dari Dzafar [1]. Ketika aku selesai memenuhi hajat, kalungku terlepas dari leherku tanpa sepengetahuanku. Aku balik ke tempat pemberhentian rombongan semula untuk mencari kalungku, namun tidak menemukannya. Sementara itu, kaum Muslimin mulai meninggalkan tempat untuk meneruskan perjalanan. Aku balik lagi ke tempat aku memenuhi hajat guna mencari kalungku hingga menemukannya. Setelah itu, datanglah orang-orang yang tadi menyiapkan unta untukku. Mereka mengangkat sekedup karena mengira aku berada di dalamnya seperti sebelumnya. Mereka memikul sekedup tersebut dan mengikatkannya ke atas unta karena yakin aku telah berada di dalamnya. Setelah itu, mereka memegang kepala unta dan menuntunnya. Aku balik lagi ke tempat peristirahatan rombongan, namun di sana tidak ada siapa-siapa, karena semua telah berangkat. Aku tutup diriku dengan jilbab dan tertidur di tempat tersebut. Aku yakin, jika orang-orang kehilangan diriku, mereka pasti kembali ke tempatku.
Demi Allah, ketika aku tidur, tiba-tiba Shafwan bin al-Mu’aththal As-Sulami berjalan melewatiku. Ia sengaja berjalan di belakang kaum Muslimin karena suatu keperluan. Ia melihat bayangan hitam diriku dan datang ke tempatku hingga berdiri di depanku. Ia pernah melihatku ketika hijab belum diwajibkan kepada kami. Ketika ia melihatku, ia berkata, إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun) istri Rasulullah? Ketika itu aku tutup diriku dengan jilbab. Shafwan bin al-Muaththal As-Sulami berkata lagi, ‘Kenapa engkau tertinggal?’ Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ia dekatkan untanya kepadaku sambil berkata, ‘Naiklah ke atasnya. Ia menjauh dariku dan aku pun menaiki untanya. Setelah aku berada di atas unta, ia memegang kepala unta kemudian berjalan cepat untuk menyusul kaum Muslimin. Demi Allah, kami tidak berjumpa dengan siapa-siapa dan kaum Muslimin tidak merasa kehilangan diriku hingga esok hari, bahkan hingga mereka tiba di Madinah. Ketika mereka istirahat di Madinah, tiba-tiba Shafwan bin al-Mu’aththal As-Sulami muncul dengan menuntun unta sedang aku berada di atasnya. Saat itulah, para penyebar berita bohong mengucapkan perkataan mereka. Orang-orang pun gempar. Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.
Kami tiba di Madinah dan sesudahnya aku sakit. Selama aku sakit, aku tidak pernah mendapatkan informasi yang beredar di luar. Informasi tentang diriku juga terdengar oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan kedua orang tuaku, namun mereka tidak menceritakan sedikitpun kepadaku. Anehnya, aku tidak lagi mendapatkan sebagian keramahan beliau, karena jika aku sakit, beliau menyayangiku dan ramah kepadaku. Tapi itu semua tidak beliau berikan kepadaku dalam sakitku kali ini. Ya, aku tidak mendapatkan itu semua dari beliau. Ketika itu, jika beliau masuk ke tempatku dan di tempatku terdapat ibuku[2] beliau berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Tidak lebih dari itu.
Aku sedih tidak karuan. Aku berkata–ketika melihat ketidakramahan beliau kepadaku-, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau engkau mengizinkanku pindah ke rumah ibuku agar aku dirawat ibuku?’. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menjawab, ’Tidak apa-apa’. Kemudian aku pindah ke rumah ibuku dan tidak tahu sama sekali apa sebenarnya yang terjadi hingga aku sembuh setelah dua puluh hari lebih. Kami adalah wanita-wanita Arab dan tidak membuat WC di dalam rumah seperti yang dilakukan orang-orang non Arab, karena kami tidak begitu menyukainya dan lebih terbiasa pergi ke tanah luas di Madinah. Jika wanita-wanita ingin buang hajat, mereka keluar rumah pada setiap malam hari. Pada suatu malam, aku keluar rumah untuk memenuhi hajat ditemani Ummu Misthah binti Abu Ruhm bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf. Ibu Misthah adalah putri Shakhr bin Amir bin Ka’ad bin Taim dan Ummu Misthah adalah bibi ayahku dari jalur ibu. Demi Allah, Ummu Misthah berjalan denganku, tiba-tiba ia jatuh karena tersangkut pakaiannya. Ia berkata, ‘Celakalah Misthah’. Misthah adalah gelar dan nama aslinya adalah Auf. Aku berkata, ‘Demi Allah, sungguh jelek perkataanmu terhadap salah seorang dari Muhajirin yang ikut hadir di Perang Badar’. Ummu Misthah berkata, ‘Apakah informasi tersebut tidak sampai kepadamu, wahai putri Abu Bakar?” Aku berkata, ‘Informasi yang mana?’ Ummu Misthah bercerita kepadaku apa yang dikatakan para penyebar berita bohong. Aku bertanya kepada Ummu Misthah, ‘Apakah informasi ini telah menyebar? Ummu Misthah menjawab, Ya, betul demi Allah.’ Demi Allah, aku tidak jadi buang hajat dan segera pulang ke rumah. Demi Allah, aku terus-menerus menangis hingga aku mengira tangisan akan membelah jantungku karena marah. Aku berkata kepada ibuku, ‘Semoga Allah mengampunimu, orang-orang membicarakan diriku, namun engkau tidak berbicara sedikitpun kepadaku? Ibuku berkata, ‘Putriku, engkau tidak usah menganggap berat masalah yang menimpamu. Demi Allah, jika ada istri cantik dicintai suaminya dan suaminya memiliki istri-istri lain, mereka dan orang-orang lain pasti membicarakan istri yang cantik tersebut.’ Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berdiri berkhutbah kepada manusia tanpa sepengetahuanku. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memuji Allah dan menyanjungNya. Setelah itu, beliau bersabda, ‘Hai manusia, kenapa orang-orang menyakitiku dengan keluargaku dan mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang mereka. Demi Allah, sepengetahuanku keluargaku adalah orang baik. Kenapa pula mereka mengatakan yang tidak benar tentang orang laki-laki yang demi Allah, aku tidak mengetahui padanya kecuali kebaikan dan ia tidak memasuki salah satu rumahku melainkan ia bersamaku’.
Orang yang amat gencar menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubai bin Salul. Ia menyebarkannya di kalangan orang-orang Khazraj bersama Misthah dan Hamnah binti Jahsy. Hamnah binti Jahsy ikut serta menyebarkan berita bohong ini karena saudara perempuannya, yaitu, Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dan tidak ada satu pun dari istri-istri beliau yang menyaingi kedudukanku di sisi beliau melainkan dia. Adapun Zainab binti Jahsy sendiri, Allah melindunginya dan tidak mengatakan kecuali yang baik-baik. Sedang Hamnah binti Jahsy, ia ikut menyebarkan berita bohong ini dan melawanku karena membela saudara perempuannya. Akibatnya, ia rugi.
Sesudah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda seperti di atas, Usaid bin Hudhair berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika orang-orang yang menyakitimu adalah orang-orang al-Aus, kami melindungimu dari mereka. Jika mereka orang-orang al-Khazraj, perintahkan kami sesuai dengan perintahmu, karena demi Allah, mereka layak dipenggal lehernya.’ Sa’ad bin Ubadah berdiri-sebelum ini, ia menampakkan diri sebagai orang shalih-kemudian berkata kepada Usaid bin Khudhir, “Engkau bohong, jangan penggal leher mereka. Demi Allah, engkau berkata seperti itu, karena engkau mengetahui mereka yang menyebarkan berita bohong adalah orang-orang al-Khazraj. Jika mereka berasal dari kaummu, engkau tidak akan seperti tadi.’ Usaid bin Hudhair berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, ‘Demi Allah, engkau bohong, dan orang munafik yang membela orang munafik.’ Orang-orang pun berdiri saling berhadapan hingga perang nyaris meledak di antara kedua kabilah tersebut; Al-Aus dan Al-Khazraj.
Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– turun dari mimbar kemudian masuk ke rumah. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid kemudian bermusyawarah dengan keduanya. Adapun Usamah bin Zaid, ia menyanjungku dan berkata baik tentang diriku. Usamah bin Zaid berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia istrimu dan kami tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik dan engkau juga tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik saja, ini kebohongan dan kebatilan.’ Sedang Ali bin Abi Thalib, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita masih banyak dan engkau mampu mencari wanita pengganti. Tanyakan kepada budak wanita, niscaya ia akan membenarkanmu.’
Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memanggil Barirah untuk bertanya kepadanya. Ali bin Abi Thalib pergi kepada Barirah dan memukulnya dengan pukulan keras sambil berkata, ‘Berkatalah jujur kepada Rasulullah.’ Barirah berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mengetahui pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah mencela sesuatu pada ‘Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti kemudian aku menyuruhnya menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing datang dan memakan adonan roti tersebut.’
Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- masuk ke tempatku. Ketika itu aku ditemani kedua orang tuaku dan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita dari Anshar tersebut juga ikut menangis. Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- duduk, memuji Allah, menyanjungNya, kemudian bersabda, ‘Hai Aisyah, engkau telah mendengar omongan orang tentang dirimu, oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah. Jika engkau telah mengerjakan kesalahan, bertaubatlah kepada Allah, karena Allah menerima taubat hamba-Nya.’
Demi Allah, Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda seperti itu. Air mataku jatuh berderai tanpa aku sadari. Aku menunggu kedua orang tuaku menjawab pertanyaan beliau mewakiliku, namun keduanya tidak berbicara sepatah kata pun. Demi Allah, aku terlalu kecil dan kerdil kalau misalnya Allah menurunkan ayat al-Qur’an tentang diriku yang dibaca di masjid-masjid dan dijadikan doa. Tapi, aku tetap berharap kiranya Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melihat sesuatu dalam mimpinya di mana Allah tidak membenarkan ucapannya, karena Allah mengetahui kesucian diriku atau Allah memberitahukan sesuatu kepada beliau. Adapun al-Qur’an yang diturunkan tentang diriku, demi Allah, diriku lebih hina kalau itu sampai terjadi. Ketika kulihat kedua orang tuaku tidak berbicara, aku berkata kepada keduanya, ’Kenapa engkau tidak menjawab pertanyaan Rasulullah?’ Kedua orang tuaku menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak tahu harus menjawab apa.’ Demi Allah, aku tidak tahu ada keluarga yang dimasuki sesuatu melebihi sesuatu yang masuk kepada keluarga Abu Bakar ketika itu.
Ketika kedua orang tuaku tidak berbicara sepatah kata pun tentang diriku, aku sedih kemudian menangis. Aku berkata kepada Rasulullah-صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ‘Demi Allah, aku tidak bertaubat kepada Allah selama-lamanya dari apa yang engkau katakan tadi. Demi Allah, jika aku mengakui apa yang dikatakan manusia padahal Allah mengetahui aku bersih daripadanya, maka kalau begitu aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Jika aku tidak mempercayai apa yang mereka katakan, mereka pasti tidak mempercayaiku.’ Aku mencari nama Ya’qub, namun aku tidak menemukannya. Tapi, aku akan berkata seperti yang pernah dikatakan ayah Nabi Yusuf,
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan.” (Yusuf: 18).
Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- belum beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba beliau pingsan. Lalu beliau diselimuti dengan pakaiannya dan bantal dari kulit diletakkan dibawah kepalanya. Ketika aku melihat hal tersebut, demi Allah, aku tidak takut dan tidak menggubrisnya, karena aku tahu bahwa aku suci bersih dan Allah tidak akan menzalimiku. Sedang kedua orang tuaku, demi jiwa Aisyah yang berada di Tangan-Nya, keduanya tidak senang dengan apa yang terjadi pada Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hingga aku berkeyakinan bahwa nyawa keduanya pasti keluar dari badan keduanya karena takut datang sesuatu dari Allah yang membenarkan apa yang dikatakan manusia. Kemudian kedua orang tuaku senang dengan keadaan Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- karena beliau duduk kembali dan keringat mengucur dari badan beliau seperti biji intan berlian di musim hujan. Beliau mengusap keringat dari keningnya, kemudian bersabda, ‘Bergembiralah engkau wahai ‘Aisyah, karena Allah telah menurunkan ayat tentang kesucian dirimu.’ Aku berkata, ‘Alhamdulillah.’ Sedang beliau keluar menemui manusia, berkhutbah kepada mereka, dan membacakan kepada mereka ayat al-Qur’an tentang kasus yang diturunkan Allah kepada beliau. Setelah itu, beliau memerintahkan untuk memanggil Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy yang semuanya ikut menyebarluaskan berita bohong tentang diriku, kemudian mereka dikenakan hukuman had.’
Ibnu Ishaq, Abu Ishaq bin Yasar berkata kepadaku dari beberapa orang dari Bani An-Najjar yang berkata, bahwa Abu Ayub bin Khalid bin Zaid ditanya istrinya, Ummu Ayyub, ‘Hai Abu Ayub, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan manusia tentang ‘Aisyah? Abu Ayub bin Khalid bin Zaid menjawab, ’Ya, aku mendengarnya dan itu tidak benar. Apakah engkau juga ikut menyebarkannya, hai Ummu Ayub?’ Ummu Ayyub menjawab, ‘Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan hal itu.’ Abu Ayub bin Khalid bin Zaid berkata, ‘Demi Allah, ‘Aisyah jauh lebih baik daripadamu.’ Ummu Ayub berkata, ‘Ketika Al-Qur’an turun, ia menyebutkan orang-orang berdosa yang mengatakan perkataan orang-orang yang menyebarluaskan berita bohong. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Jangan kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).” (an-Nur: 11).
Pelaku yang menyebarluaskan berita bohong tersebut adalah Hassan bin Tsabit dan sahabat-sahabatnya.
Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.” (An-Nur: 12).
Maksudnya, kenapa mereka tidak berkata seperti perkataan Abu Ayyub dan istrinya? Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“(Ingatlah) di waktu kalian menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (An-Nur: 15).
Ketika ayat di atas turun untuk ‘Aisyah dan orang-orang yang telah mengatakan sesuatu tentang ‘Aisyah, Abu Bakar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- yang sebelumnya menafkahi Misthah karena masih kerabat dan ia miskin- berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi sesuatu apa pun kepada Misthah dan tidak memberinya manfaat apa pun selama-lamanya setelah ia berkata sesuatu tentang ‘Aisyah dan memasukkan sesuatu kepada kita.’ Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menurunkan ayat tentang ucapan Abu Bakar tersebut,
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nur: 22).
Abu Bakar berkata, ‘Ya, aku ingin Allah mengampuniku.’ Usai berkata seperti itu, ia kembali menafkahi Misthah seperti sebelumnya ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah kepadanya selama-lamanya’.”
Salah seorang dari kaum Muslimin berkata tentang hukuman terhadap Hassan bin Tsabit dan lainnya karena kelancangannya terhadap Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-:
Sungguh Hassan telah merasakan hukuman cambuk karena ia
layak mendapatkannya
Juga Hamnah dan Misthah
Ketika mereka berkata kotor terhadap istri Nabi
Mereka berkata atas dasar sangkaan belaka terhadap istri Nabi
Mereka mendapatkan murka Pemilik Arasy yang mulia
Kemudian mereka sedih karenanya
Mereka menyakiti Rasulullah
Kemudian mereka diliputi dengan kehinaan abadi
Seperti sorban di kepala mereka
Hasil panen disiramkan kepada mereka
Seperti hujan deras dari awan yang menghujani.
Wallahu A’lam. (Redaksi)
Catatan :
[1] Dzafar adalah nama sebuah tempat di Yaman dekat Shan’a.
[2] Namanya adalah Zainab binti Abdi Dahman, demikian menurut Ibnu Hisyam.
Sumber:
Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Abdus Salam Harun, ei. hal. 261-266.
Sumber : https://alsofwa.com/berita-bohong-di-perang-bani-musthaliq/?utm_source=feedburner&utm_medium=email