Archive For March 2022 - natasabar.com

Tuesday 22 March 2022

thumbnail

Berita Dusta di Perang Bani Musthaliq

Pada Tahun Keenam Hijriyah

Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- berkata, “Jika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hendak bepergian, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya. Nama siapa yang keluar dalam undian, dialah yang berhak menemani beliau. Pada perang Bani Mushthaliq, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengundi istri-istrinya seperti biasanya.

Dalam undian tersebut, namaku keluar. Jadi, aku yang beliau bawa dalam perjalanannya. Wanita-wanita ketika itu makanannya tidak banyak, maka wajar kalau badan mereka tidak berat. Jika untaku telah disiapkan, aku duduk di sekedup (pelana), kemudian orang-orang datang untuk mengambilku. Mereka memegang bagian bawah sekedup, mengangkatnya, meletakkannya di atas punggung unta, mengikatkannya ke unta, memegang kepala unta, dan berjalan dengannya. Setelah merampungkan permasalahan Bani Al-Mushthaliq, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pulang ke Madinah. Tiba di dekat Madinah, beliau berhenti di satu tempat, dan tidur sebagian malam.”

Setelah itu, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan kaum Muslimin meneruskan perjalanan. Mereka pun berangkat, sedang aku keluar untuk memenuhi hajat dengan mengenakan kalung yang di dalamnya terdapat batu akik dari Dzafar [1]. Ketika aku selesai memenuhi hajat, kalungku terlepas dari leherku tanpa sepengetahuanku. Aku balik ke tempat pemberhentian rombongan semula untuk mencari kalungku, namun tidak menemukannya. Sementara itu, kaum Muslimin mulai meninggalkan tempat untuk meneruskan perjalanan. Aku balik lagi ke tempat aku memenuhi hajat guna mencari kalungku hingga menemukannya. Setelah itu, datanglah orang-orang yang tadi menyiapkan unta untukku. Mereka mengangkat sekedup karena mengira aku berada di dalamnya seperti sebelumnya. Mereka memikul sekedup tersebut dan mengikatkannya ke atas unta karena yakin aku telah berada di dalamnya. Setelah itu, mereka memegang kepala unta dan menuntunnya. Aku balik lagi ke tempat peristirahatan rombongan, namun di sana tidak ada siapa-siapa, karena semua telah berangkat. Aku tutup diriku dengan jilbab dan tertidur di tempat tersebut. Aku yakin, jika orang-orang kehilangan diriku, mereka pasti kembali ke tempatku.

Demi Allah, ketika aku tidur, tiba-tiba Shafwan bin al-Mu’aththal As-Sulami berjalan melewatiku. Ia sengaja berjalan di belakang kaum Muslimin karena suatu keperluan. Ia melihat bayangan hitam diriku dan datang ke tempatku hingga berdiri di depanku. Ia pernah melihatku ketika hijab belum diwajibkan kepada kami. Ketika ia melihatku, ia berkata, إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun) istri Rasulullah? Ketika itu aku tutup diriku dengan jilbab. Shafwan bin al-Muaththal As-Sulami berkata lagi, ‘Kenapa engkau tertinggal?’ Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ia dekatkan untanya kepadaku sambil berkata, ‘Naiklah ke atasnya. Ia menjauh dariku dan aku pun menaiki untanya. Setelah aku berada di atas unta, ia memegang kepala unta kemudian berjalan cepat untuk menyusul kaum Muslimin. Demi Allah, kami tidak berjumpa dengan siapa-siapa dan kaum Muslimin tidak merasa kehilangan diriku hingga esok hari, bahkan hingga mereka tiba di Madinah. Ketika mereka istirahat di Madinah, tiba-tiba Shafwan bin al-Mu’aththal As-Sulami muncul dengan menuntun unta sedang aku berada di atasnya. Saat itulah, para penyebar berita bohong mengucapkan perkataan mereka. Orang-orang pun gempar. Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.

Kami tiba di Madinah dan sesudahnya aku sakit. Selama aku sakit, aku tidak pernah mendapatkan informasi yang beredar di luar. Informasi tentang diriku juga terdengar oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan kedua orang tuaku, namun mereka tidak menceritakan sedikitpun kepadaku. Anehnya, aku tidak lagi mendapatkan sebagian keramahan beliau, karena jika aku sakit, beliau menyayangiku dan ramah kepadaku. Tapi itu semua tidak beliau berikan kepadaku dalam sakitku kali ini. Ya, aku tidak mendapatkan itu semua dari beliau. Ketika itu, jika beliau masuk ke tempatku dan di tempatku terdapat ibuku[2] beliau berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Tidak lebih dari itu.

Aku sedih tidak karuan. Aku berkata–ketika melihat ketidakramahan beliau kepadaku-, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau engkau mengizinkanku pindah ke rumah ibuku agar aku dirawat ibuku?’. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menjawab, ’Tidak apa-apa’. Kemudian aku pindah ke rumah ibuku dan tidak tahu sama sekali apa sebenarnya yang terjadi hingga aku sembuh setelah dua puluh hari lebih. Kami adalah wanita-wanita Arab dan tidak membuat WC di dalam rumah seperti yang dilakukan orang-orang non Arab, karena kami tidak begitu menyukainya dan lebih terbiasa pergi ke tanah luas di Madinah. Jika wanita-wanita ingin buang hajat, mereka keluar rumah pada setiap malam hari. Pada suatu malam, aku keluar rumah untuk memenuhi hajat ditemani Ummu Misthah binti Abu Ruhm bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf. Ibu Misthah adalah putri Shakhr bin Amir bin Ka’ad bin Taim dan Ummu Misthah adalah bibi ayahku dari jalur ibu. Demi Allah, Ummu Misthah berjalan denganku, tiba-tiba ia jatuh karena tersangkut pakaiannya. Ia berkata, ‘Celakalah Misthah’. Misthah adalah gelar dan nama aslinya adalah Auf. Aku berkata, ‘Demi Allah, sungguh jelek perkataanmu terhadap salah seorang dari Muhajirin yang ikut hadir di Perang Badar’. Ummu Misthah berkata, ‘Apakah informasi tersebut tidak sampai kepadamu, wahai putri Abu Bakar?” Aku berkata, ‘Informasi yang mana?’ Ummu Misthah bercerita kepadaku apa yang dikatakan para penyebar berita bohong. Aku bertanya kepada Ummu Misthah, ‘Apakah informasi ini telah menyebar? Ummu Misthah menjawab, Ya, betul demi Allah.’ Demi Allah, aku tidak jadi buang hajat dan segera pulang ke rumah. Demi Allah, aku terus-menerus menangis hingga aku mengira tangisan akan membelah jantungku karena marah. Aku berkata kepada ibuku, ‘Semoga Allah mengampunimu, orang-orang membicarakan diriku, namun engkau tidak berbicara sedikitpun kepadaku? Ibuku berkata, ‘Putriku, engkau tidak usah menganggap berat masalah yang menimpamu. Demi Allah, jika ada istri cantik dicintai suaminya dan suaminya memiliki istri-istri lain, mereka dan orang-orang lain pasti membicarakan istri yang cantik tersebut.’ Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berdiri berkhutbah kepada manusia tanpa sepengetahuanku. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memuji Allah dan menyanjungNya. Setelah itu, beliau bersabda, ‘Hai manusia, kenapa orang-orang menyakitiku dengan keluargaku dan mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang mereka. Demi Allah, sepengetahuanku keluargaku adalah orang baik. Kenapa pula mereka mengatakan yang tidak benar tentang orang laki-laki yang demi Allah, aku tidak mengetahui padanya kecuali kebaikan dan ia tidak memasuki salah satu rumahku melainkan ia bersamaku’.

Orang yang amat gencar menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubai bin Salul. Ia menyebarkannya di kalangan orang-orang Khazraj bersama Misthah dan Hamnah binti Jahsy. Hamnah binti Jahsy ikut serta menyebarkan berita bohong ini karena saudara perempuannya, yaitu, Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dan tidak ada satu pun dari istri-istri beliau yang menyaingi kedudukanku di sisi beliau melainkan dia. Adapun Zainab binti Jahsy sendiri, Allah melindunginya dan tidak mengatakan kecuali yang baik-baik. Sedang Hamnah binti Jahsy, ia ikut menyebarkan berita bohong ini dan melawanku karena membela saudara perempuannya. Akibatnya, ia rugi.

Sesudah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda seperti di atas, Usaid bin Hudhair berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika orang-orang yang menyakitimu adalah orang-orang al-Aus, kami melindungimu dari mereka. Jika mereka orang-orang al-Khazraj, perintahkan kami sesuai dengan perintahmu, karena demi Allah, mereka layak dipenggal lehernya.’ Sa’ad bin Ubadah berdiri-sebelum ini, ia menampakkan diri sebagai orang shalih-kemudian berkata kepada Usaid bin Khudhir, “Engkau bohong, jangan penggal leher mereka. Demi Allah, engkau berkata seperti itu, karena engkau mengetahui mereka yang menyebarkan berita bohong adalah orang-orang al-Khazraj. Jika mereka berasal dari kaummu, engkau tidak akan seperti tadi.’ Usaid bin Hudhair berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, ‘Demi Allah, engkau bohong, dan orang munafik yang membela orang munafik.’ Orang-orang pun berdiri saling berhadapan hingga perang nyaris meledak di antara kedua kabilah tersebut; Al-Aus dan Al-Khazraj.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– turun dari mimbar kemudian masuk ke rumah. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid kemudian bermusyawarah dengan keduanya. Adapun Usamah bin Zaid, ia menyanjungku dan berkata baik tentang diriku. Usamah bin Zaid berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia istrimu dan kami tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik dan engkau juga tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik saja, ini kebohongan dan kebatilan.’ Sedang Ali bin Abi Thalib, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita masih banyak dan engkau mampu mencari wanita pengganti. Tanyakan kepada budak wanita, niscaya ia akan membenarkanmu.’

Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memanggil Barirah untuk bertanya kepadanya. Ali bin Abi Thalib pergi kepada Barirah dan memukulnya dengan pukulan keras sambil berkata, ‘Berkatalah jujur kepada Rasulullah.’ Barirah berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mengetahui pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah mencela sesuatu pada ‘Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti kemudian aku menyuruhnya menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing datang dan memakan adonan roti tersebut.’

Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- masuk ke tempatku. Ketika itu aku ditemani kedua orang tuaku dan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita dari Anshar tersebut juga ikut menangis. Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- duduk, memuji Allah, menyanjungNya, kemudian bersabda, ‘Hai Aisyah, engkau telah mendengar omongan orang tentang dirimu, oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah. Jika engkau telah mengerjakan kesalahan, bertaubatlah kepada Allah, karena Allah menerima taubat hamba-Nya.’

Demi Allah, Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda seperti itu. Air mataku jatuh berderai tanpa aku sadari. Aku menunggu kedua orang tuaku menjawab pertanyaan beliau mewakiliku, namun keduanya tidak berbicara sepatah kata pun. Demi Allah, aku terlalu kecil dan kerdil kalau misalnya Allah menurunkan ayat al-Qur’an tentang diriku yang dibaca di masjid-masjid dan dijadikan doa. Tapi, aku tetap berharap kiranya Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melihat sesuatu dalam mimpinya di mana Allah tidak membenarkan ucapannya, karena Allah mengetahui kesucian diriku atau Allah memberitahukan sesuatu kepada beliau. Adapun al-Qur’an yang diturunkan tentang diriku, demi Allah, diriku lebih hina kalau itu sampai terjadi. Ketika kulihat kedua orang tuaku tidak berbicara, aku berkata kepada keduanya, ’Kenapa engkau tidak menjawab pertanyaan Rasulullah?’ Kedua orang tuaku menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak tahu harus menjawab apa.’ Demi Allah, aku tidak tahu ada keluarga yang dimasuki sesuatu melebihi sesuatu yang masuk kepada keluarga Abu Bakar ketika itu.

Ketika kedua orang tuaku tidak berbicara sepatah kata pun tentang diriku, aku sedih kemudian menangis. Aku berkata kepada Rasulullah-صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ‘Demi Allah, aku tidak bertaubat kepada Allah selama-lamanya dari apa yang engkau katakan tadi. Demi Allah, jika aku mengakui apa yang dikatakan manusia padahal Allah mengetahui aku bersih daripadanya, maka kalau begitu aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Jika aku tidak mempercayai apa yang mereka katakan, mereka pasti tidak mempercayaiku.’ Aku mencari nama Ya’qub, namun aku tidak menemukannya. Tapi, aku akan berkata seperti yang pernah dikatakan ayah Nabi Yusuf,

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan.” (Yusuf: 18).

Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- belum beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba beliau pingsan. Lalu beliau diselimuti dengan pakaiannya dan bantal dari kulit diletakkan dibawah kepalanya. Ketika aku melihat hal tersebut, demi Allah, aku tidak takut dan tidak menggubrisnya, karena aku tahu bahwa aku suci bersih dan Allah tidak akan menzalimiku. Sedang kedua orang tuaku, demi jiwa Aisyah yang berada di Tangan-Nya, keduanya tidak senang dengan apa yang terjadi pada Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hingga aku berkeyakinan bahwa nyawa keduanya pasti keluar dari badan keduanya karena takut datang sesuatu dari Allah yang membenarkan apa yang dikatakan manusia. Kemudian kedua orang tuaku senang dengan keadaan Rasulullah -صىَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- karena beliau duduk kembali dan keringat mengucur dari badan beliau seperti biji intan berlian di musim hujan. Beliau mengusap keringat dari keningnya, kemudian bersabda, ‘Bergembiralah engkau wahai ‘Aisyah, karena Allah telah menurunkan ayat tentang kesucian dirimu.’ Aku berkata, ‘Alhamdulillah.’ Sedang beliau keluar menemui manusia, berkhutbah kepada mereka, dan membacakan kepada mereka ayat al-Qur’an tentang kasus yang diturunkan Allah kepada beliau. Setelah itu, beliau memerintahkan untuk memanggil Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy yang semuanya ikut menyebarluaskan berita bohong tentang diriku, kemudian mereka dikenakan hukuman had.’

Ibnu Ishaq, Abu Ishaq bin Yasar berkata kepadaku dari beberapa orang dari Bani An-Najjar yang berkata, bahwa Abu Ayub bin Khalid bin Zaid ditanya istrinya, Ummu Ayyub, ‘Hai Abu Ayub, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan manusia tentang ‘Aisyah? Abu Ayub bin Khalid bin Zaid menjawab, ’Ya, aku mendengarnya dan itu tidak benar. Apakah engkau juga ikut menyebarkannya, hai Ummu Ayub?’ Ummu Ayyub menjawab, ‘Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan hal itu.’ Abu Ayub bin Khalid bin Zaid berkata, ‘Demi Allah, ‘Aisyah jauh lebih baik daripadamu.’ Ummu Ayub berkata, ‘Ketika Al-Qur’an turun, ia menyebutkan orang-orang berdosa yang mengatakan perkataan orang-orang yang menyebarluaskan berita bohong. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Jangan kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).” (an-Nur: 11).

Pelaku yang menyebarluaskan berita bohong tersebut adalah Hassan bin Tsabit dan sahabat-sahabatnya.

Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

“Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata.” (An-Nur: 12).

Maksudnya, kenapa mereka tidak berkata seperti perkataan Abu Ayyub dan istrinya? Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“(Ingatlah) di waktu kalian menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (An-Nur: 15).

Ketika ayat di atas turun untuk ‘Aisyah dan orang-orang yang telah mengatakan sesuatu tentang ‘Aisyah, Abu Bakar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- yang sebelumnya menafkahi Misthah karena masih kerabat dan ia miskin- berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi sesuatu apa pun kepada Misthah dan tidak memberinya manfaat apa pun selama-lamanya setelah ia berkata sesuatu tentang ‘Aisyah dan memasukkan sesuatu kepada kita.’ Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menurunkan ayat tentang ucapan Abu Bakar tersebut,

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nur: 22).

Abu Bakar berkata, ‘Ya, aku ingin Allah mengampuniku.’ Usai berkata seperti itu, ia kembali menafkahi Misthah seperti sebelumnya ia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah kepadanya selama-lamanya’.”

Salah seorang dari kaum Muslimin berkata tentang hukuman terhadap Hassan bin Tsabit dan lainnya karena kelancangannya terhadap Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-:

Sungguh Hassan telah merasakan hukuman cambuk karena ia

layak mendapatkannya

Juga Hamnah dan Misthah

Ketika mereka berkata kotor terhadap istri Nabi

Mereka berkata atas dasar sangkaan belaka terhadap istri Nabi

Mereka mendapatkan murka Pemilik Arasy yang mulia

Kemudian mereka sedih karenanya

Mereka menyakiti Rasulullah

Kemudian mereka diliputi dengan kehinaan abadi

Seperti sorban di kepala mereka

Hasil panen disiramkan kepada mereka

Seperti hujan deras dari awan yang menghujani.

Wallahu A’lam. (Redaksi)

Catatan :

[1] Dzafar adalah nama sebuah tempat di Yaman dekat Shan’a.

[2] Namanya adalah Zainab binti Abdi Dahman, demikian menurut Ibnu Hisyam.

Sumber:

Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Abdus Salam Harun, ei. hal. 261-266.

 

Sumber : https://alsofwa.com/berita-bohong-di-perang-bani-musthaliq/?utm_source=feedburner&utm_medium=email

Tuesday 15 March 2022

thumbnail

Jadilah kunci kebaikan



Anas bin Malik berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ


Sesungguhnya diantara manusia ada yang menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan, Namun ada juga yang menjadi kunci kejelekan dan penutup pintu kebaikan. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kebaikan melalui kedua tangannya. Dan celakalah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kejelekan melalui kedua tangannya”. (HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)


Baca Juga : Maafkanlah dia agar Allah memaafkan kita 

 

Dan barangsiapa yang ingin dirinya menjadi seseorang yang kunci pembuka pintu kebaikan serta menjadi penutup pintu keburukan, maka hendaknya ia melakukan hal-hal berikut :

1. Mengikhlaskan segala perbuatan dan perkataan hanya untuk beribadah kepada Allah. Karena hal tersebut adalah sumber kebaikan dan sumber kemuliaan seseorang.

2. Berdoa kepada Allah agar diberi taufik menjadi seseorang yang membuka pintu kebaikan. Karena sesungguhnya doa adalah kunci segala kebaikan, dan Allah tidak akan menolak doa seorang hamba yang beriman yang memohon kepadanya.

3. Bersemangat dalam menuntut ilmu dan memperdalamnya. Karena sesungguhnya ilmu mendorong seseorang kepada kebaikan dan kemuliaan, serta menghalangi dari perbuatan jelek dan kerusakan.

4. Senantiasa beribadah kepada Allah, terlebih-lebih dalam hal-hal yang wajib. Dan lebih khusus dalam masalah shalat, karena shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

5. Bersikap dengan akhlak yang mulia dan lemah lembut, serta jauh dari akhlak yang buruk dan tidak beradab.

6. Berteman dengan orang-orang yang baik dan berkumpul dengan orang-orang shalih. Karena sesungguhnya dengan berkumpul bersama mereka, para malaikat akan menyelimutinya dan rahmat Allah akan mengelilinginya. Serta jauhilah perkumpulan orang-orang yang buruk dan jelek, karena mereka adalah pengikut para setan.

7. Menasehati orang lain, baik yang dikenal atau tidak dikenal, agar menyibukkan mereka dengan kebaikan dan menjauhkannya dari kejelekan.

8. Selalu mengingat akan hari akhir, dimana seorang hamba akan berdiri dihadapan Allah Ta’ala. Maka seseorang yang senantiasa berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan orang yang jelek dibalas dengan kejelekan pula, sebagaimana firman Allah Ta’ala,



فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ  وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ


Barangsiapa yang mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan amal kejelekann sekecil dzarrah, pasti ia akan mendapatkan balasannya”. (QS. Al-Zalzalah 7-8)


9. Dan yang tidak kalah penting adalah seorang hamba senantiasa berharap agar mendapatkan kebaikan, serta berusaha memberi manfaat kepada yang lainnya. Sehingga apabila ia sungguh-sungguh berniat dan berharap akan mendapatkan kebaikan serta memohon kepada Allah akannya, maka dengan izin Allah, ia akan menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan.

 
Dan Allah Maha Kuasa atas hamba-hambanya untuk diberikan taufik dan dibukakan padanya pintu kebaikan bagi yang dikehendaki-Nya. Dan Allah-lah sebaik-baik dzat yang membuka pintu kebaikan.



Sumber: http://www.al-badr.net/web/index.php?page=article&action=article&article=7

Friday 11 March 2022

thumbnail

Maafkanlah dia agar Allah memaafkan kita bag. 2


 Baca kisah berikut, keutamaan orang yang tidak hasad dan dendam

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,



“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun berkata, ‘Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga.’ Maka munculah seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Maka orang tersebut menjawab, “Silakan.”

 

Baca Juga : Menjadi guru adalah panggilan hidup! 

 

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya,



“Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah bertutur, ‘Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.’


Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka aku pun berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali bahwa akan muncul kala itu kepada kami seorang penduduk surga. Lantas engkaulah yang muncul, maka aku pun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku teladani. Namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Lantas apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat.’ Abdullah bertutur,

 

فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ


‘Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad, 3: 166. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)


Baca Juga : Mengenal situs mediakomen.com dan apa manfaatnya bagi youtuber, instagram dan blogger 

 

 
Maafkan dan Hapuslah Dendam



Kesimpulan mudahnya dari ayat yang kita bahas, maafkanlah orang yang berbuat salah kepada kita, semoga Allah memaafkan kesalahan kita pula. Tak perlu kita menuntut balasan kesalahan dia di akhirat, karena kita juga belum tentu selamat. Kalau kita masih kurang puas dengan alasan ini, ingat saja bahwa Allah itu Maha Pengampun. Semua dosa kita itu dimaafkan oleh Allah ketika kita mau bertaubat nashuha walaupun itu dosa syirik dan dosa besar. Lantas kenapa kita sebagai manusia tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, padahal bisa jadi itu hanya kesalahan kecil atau kesalahan yang hanya sekali atau itu kesalahan yang bisa dimaafkan agar tidak membuat hati kita sakit.



Sumber https://rumaysho.com/28515-sudahlah-maafkanlah-dia-agar-allah-memaafkan-kita.html

Via HijrahApp

thumbnail

Maafkanlah dia agar Allah memaafkan kita bag.1

 
Maafkanlah dia agar Allah memaafkan kita. Semoga kita bisa menghilangkan dendam, kesalahan orang lain tak perlu kita tuntut di akhirat.


Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)

 

Baca Juga : Pengertian Filsafat dan bagaimana pandangan agama 

 

Penjelasan ayat

Disebutkan oleh Aisyah saat ujian yang menimpanya ketika difitnah berselingkuh, ia mengatakan,

“Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan sepuluh ayat (terbebasnya Aisyah dari tuduhan selingkuh), maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu–beliau adalah orang yang memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anhu karena masih ada hubungan kerabat dan karena ia orang fakir–berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.’ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat berikut (yang artinya), “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)


“Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.’ Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai persoalanku. Beliau berkata, ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Dialah di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha bertentangan dengannya. Maka, binasalah orang-orang yang binasa.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)


Pelajaran penting yang bisa dipetik dari ayat di atas tentang memaafkan:

Memaafkan orang lain adalah sebab Allah memberikan ampunan kepada kita.

Wajibnya memberikan maaf ketika ada yang mau bertaubat dan memperbaiki diri.


Baca Juga : 6 Kebiasaan Rutin Orang-Orang Sukses di Pagi hari 


 

Kejelekan tidaklah dibalas dengan kejelekan, balaslah kejelekan dengan kebaikan. Berikanlah maaf kepada orang yang berbuat jelek kepada kita. Inilah ayat-ayat dan hadits yang memerintahkan untuk memaafkan yang lain walau berat untuk memaafkan.


وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

 

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)


الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asyu-Syura: 40)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin membuatnya mulia. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588)



Memaafkan yang salah berlaku jika yang salah tersebut tahu akan kesalahan dan kezalimannya, ini dianjurkan. Begitu pula ketika dengan memaafkannya, maka akan lebih menyelesaikan masalah dan kita yang mengalah. Hal ini tidak berlaku jika yang berbuat zalim terus menerus zalim dan melampaui batas. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ


“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS. Asy-Syura: 39)


Bersambung ke bagian 2

Wednesday 9 March 2022

thumbnail

Yang Penting Keikhlasan Bagian 3


Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al-Asy'ari.

 
Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu'awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim. 
 
 
 
 
Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali.
 

Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat. 
 
 
Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan ...
 
Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah .... Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin 'Ash sebagai wakil dari pihak Mu'awiyah. Dan sesungguhnya  'Amr bin 'Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu'awiyah. 
 
 
Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy'ari dan 'Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya. 
 
 
Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini,'Amr bin 'Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan  Abdullah bin Umar .... 
 
 
 
 
Demikianlah dengan kelicinannya, 'Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan Mu'awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin 'Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.
Kecerdikan 'Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya'Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada 'Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala  urusan  mereka hendaklah  diperundingkan  di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama. 
 
 
Dan akan kita lihat nanti bagaimana 'Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu'awiyah 
 
 
Tetapi sebelum itu marilah kita dengar soal jawab yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan 'Amr bin 'Ash di awal pertemuan mereka, yang kita nukil dari buku "Al-Akhbaruth Thiwal" buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai berikut: -- Abu Musa : 
 
+ Hai  'Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah ...? Ujar 'Amr: -
-- Apakah itu  ?

+ Kita angkat Abdullah bin Umar. Ia tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
-- Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu'awiyah...?

+ Tak ada tempat Mu'awiyah di sini ..., dan tak ada haknya
--Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya...?

+ Benar!
--Maka Mu'awiyah adalah wail dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wail darah Utsman, sedang Allah Ta'ala berfirman: "Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, make Kami berikan kekuasaan kepada walinya     I" Di samping itu ia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi shallallahu alaihi wasalam  juga salah seorang dari shahabatnya.

+ Takutilah Allah hai 'Amr! Mengenai kemuliaan Mu'awiyah yang kamu katakan itu, seandainya khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu'awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib ...? Adapun katamu bahwa Mu'awiyah wail Utsman, maka lebih utamalah daripadanya putera Utsman sendiri 'Amr bin Utsman... ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyahi itu...!

--Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku Abdullah yang memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?

+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putra dari orang baik ,yaitu Abdullah bin Umar ... !
-- Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan ... !

+ Keterlaluan engkau wahai 'Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada fitnah ...!
-- Jadi bagaimana pendapat anda ... ?

+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka -- Ali dan Mu'awiyah -- dan kita serahkan kepada permusyawaratan Kaum NIuslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
-- Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia ..
 
 
Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk gambaranyang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy'ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan 'Amr bin 'Ash yang terkenal licin dan lihai itu Maka tatkala 'Amr hendak memaksa Abu Musa untuk menerima Mu'awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wall dari  Utsman, datanglah jawaban dari Abu Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang: -- Seandainya khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu'awiyah….! 
 
 
Dan jika berdasarkan sebagai wali dari darah Utsman dan pembela haknya, maka putera Utsman radhiallahu anhu . sendiri lebih utama menjadi wali dari Mu'awiyah …! 
 
 
Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung menempuh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab 'Amr bin 'Ash seorang diri .... Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan 'Amr telah menyetujui dan mengakui tarikatnya dengan pendapat ini .... 
 
 
Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini, 'Amr masih akan bsrsiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada Mu'awiyah ... ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembalikepada mereka menyampaikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan 'Amr akan bersilat lidah, katanya: -
"Demi Allah, saya khawatir 'Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya…. !"
 
 
Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga 'Amr akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa 'Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama. 
 
 
Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu mukalah ..., Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan 'Amr bin 'Ash mewakili pihak Mu'awiyah. 
 
Abu Musa mempersilakan 'Amr untuk bicara, ia menolak, katanya: -

"Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda... ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua    '" 
 
Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar, seraya katanya: - 
 
"Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tail kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu'awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah.... Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu'awiyah dari jabatan mereka .... Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian ... !'
 
 
Sekarang tiba giliran 'Amr untuk memaklumkan penurunan Mu'awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ail, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin.'Amr menaiki mimbar, lain katanya: "Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan shahabatnya dari jabatannya       Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggaIkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabatku Mu'awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu'minin Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini ... !" 

Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai tamparan kepada 'Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri... , diayunnya langkah menuju Mekah . . , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana
 
 
Abu Musa radhiallahu anhu . adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya . · · · 

Sewaktu Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu'adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi. 

Di masa Umar, Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah. 

Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
 
 
"Ikutilah  al-Quran ... dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran...!" 
 
 
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya:


"Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti ... !"
Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyambut .... Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman. 
 
 
Kalimat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu ....
Kalimat-kalimat itu ialah:
 
"Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan':
thumbnail

Yang penting Keikhlasan Bagian 2


Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang... ! Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal ... ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: "Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit ....".

 

Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan ... ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: -- "Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi... !"
 
 
 
Dalam arena perjuangan al-Sy'ari memikul tanggung jawab  dengan  penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  berkata mengenai dirinya: -- "Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa  " Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut:     "Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain... !" 
 

Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah. 


Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy'ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan
 

Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang… !
 
 
Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan,  mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan .... Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.... !
 
 
 
Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy'ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya ... ! Pada saat itu Amirul Mu'minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh 'Ammar bin Yasir, Barra' bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja'. 
 
 

Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. 
 
 

Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya ....
 
 
 
Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala. 

Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu  memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu'minin. 
 
 
Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati…Ia membaca al-Quran  dengan suara yang menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda:
 
 
'Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!"

Dan setiap Umar radhiallahu anhu melihatnya, dipanggiinya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah: -

"Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa... !"
 
 
Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali Sika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi...Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya. 
 
 
Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim. 
 
 
Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu'awiyah. 
 
 
Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya Yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi Orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ....
 
 
Pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita Simpulkan sebagai berikut: -- memperhatikan adanya peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan... !
 
 
Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya nntuk sementara waktu, begitu pula Mu'awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki. 
 

Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya ... ! Benar bahwa Ali radhiallahu anhu telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari'at ... ! Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru ,karena pengkhianatan Mu'awiyah sekarang ini telah  menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja. 
 
 
Tetapi kesemuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah! 
 
 
Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian ...
 

Bersambung Ke bagian 3


Popular Posts